Jadi, di akhir Desember 2017 aku melakukan perjalanan seorang diri dengan travel Tembilahan – Pekanbaru. Perjalanan yang baik baik saja awalnya sampai sang supir memulai pembicaraan. Out of nowhere, topiknya. Beliau bertanya, apakah aku sudah bekerja atau belum, sudah menikah atau belum, kegiatanku apa saja, yang jujur secara pribadi aku gak punya masalah ditanya kayak gitu, tapi gak seterbuka gimana juga untuk dikulik kulik. You know, right?
Kala itu aku mencoba menjawab sesingkat dan seringan mungkin untuk menyudahi pembicaraan. Benar benar seperlunya. Sampai beliau terus menerus membangun kesimpulan di depan wajahku. “Kalau saya lihat, kamu ini akan susah dapat kerja dan berat jodoh”, kupalingkan wajahku menatap sang supir yang tanpa beban memandang jalanan. “Kamu ini sudah dibuat buat orang, ada orang yang benci dan sakit hati karena kamu tolak”, lanjutnya.
Aku tergelak dalam hati. Mencoba stay cool. Entah seberapa jauh ia berbicara dan hanya kutanggapi dengan hmm, ohhh, hmm, ohhh. Tak berhenti masalah perjodohan, ia bahas tentang sekolah, pendidikan dan tau tau membandingkanku yang kala itu baruuu banget lulus S2 dan ceritanya lagi balik kampung (dan belum punya ‘kerjaan’), dengan anak perempuannya, lulus S1 langsung kerja dan tidak lagi pernah dikirimi uang (karena sudah berpenghasilan). I mean, what? Hello.
Endingnya tentu saja saat aku bersiap turun di alamat tujuanku, ia menyempatkan mengajarkanku ‘doa-doa’ dan langkah-langkah untuk membuka cahaya yang telah ditutup oleh ‘lelaki’ antah berantah yang katanya mengirimiku sesuatu tadi. Bahkan sambungnya, gak cuma seorang, tapi beberapa. Sekaligus diajarinya supaya pintu rezeki terbuka. Aku cuma membalas dengan senyuman tipis dan kuucapkan terima kasih (dalam hati kudoakan semoga selamanya aku gak bertemu lagi dengannya wkwk).
Well, jadi kisah tadi sebenarnya cuma pembuka untuk topik yang pengen banget dari dulu aku ceritakan. Tentang, ternyata hidup kita itu, ya begitu, ehehe. I mean, itulah hidup. Bahwa kita gak bisa mengontrol apa yang orang-orang akan pikirkan, katakan, atau lakukan ke kita. Di sisi yang lain, sepenuhnya kita punya pilihan untuk ‘terpengaruh’ atau membangun jejak kita sendiri.
Dan dalam konteks ini, secara pribadi, apa yang supir itu katakan gak membuat aku merasa ‘ketakutan’ actually. Aku pernah cerita sekali ke Mamak, malah Mamak yang kepikiran wkwk. Kepikiran dalam ukuran namanya Ibu ibu sih. Khawatir, nanti anaknya ketemu jodoh gak, kok ya gak ada tanda tanda :D. Abah, justru lebih tenang kayaknya, meskipun Abah berusaha nyariin jodoh gegara dengar Ustadz Somad bilang, bahwa seorang ayah bertanggung jawab mencarikan putrinya laki-laki yang sholih. Sikap Mamak dan Abah kala itu, benar benar meneguhkanku. I mean, aku ‘biasa’ aja yang saking biasa nya jadi suka dianggap Mamak ‘menggampangkan’ 😀
Dan sepanjang perjalanan di hari itu, sejujurnya aku mikir tentang betapa bersyukurnya aku ikutan ngaji yang membuatku paham tentang qadhanya Allah, ketetapan Allah. Tentang besarnya rizki dari Allah, rizki bisa sekolah, rizki ke IPB, rizki terjaga dari pergaulan bebas, rizki untuk berkegiatan aktif di organisasi tanpa terombang ambing galau, rizki tentang dukungan keluarga, rizki lingkungan yang masyaaAllah ringan nasehat menasehati, dan banyak lagi pastinya kalau dirunut satu per satu, alhamdulillah ‘ala kulli hal.
Justru kejadian di’baca-baca’ begitu membuatku banyak berpikir tentang seberapa mengerikan kehidupan manusia, especially muslim, ketika mereka gak ngerti gimana menggunakan sudut pandang agamanya dalam kehidupan. Mereka bisa langsung ketakutan untuk hal-hal yang padahal rahasianya ada di sisi Allah. Mereka bisa saja galau, dan faktanya aku menemukan (ada) teman-temanku yang terjebak kegalauan, kesedihan berkepanjangan, just because mereka diomongin kayak yang tadi aku terima. It is true. Bahkan embel embel nya lebih panjang dan perih didengar.
Ketidakpahaman, kadang bisa kita temui dari orang yang tidak kita kenal, dan bisa juga dari orang yang dekat dengan kita, kayak keluarga atau teman. Bisa siapa saja. So, kita gak bisa selamanya menghindari orang-orang yang demikian. That’s why, menurutku membangun pemahaman yang benar justru adalah koentji.
Ehm, ngomong-ngomong tentang topik ini, sebenarnya aku pernah dapat inspirasi dari sebuah buku. Bahwa bukan status yang jadi utama, melainkan mentalitas bagi status itu. Seseorang yang masih single, bisa ‘mulia’ dan bisa juga ‘hina’. Mulia kalau ia jaga dirinya, hina kalau ia rendahkan dirinya. Dan seseorang yang sudah menikah, pun bisa ‘mulia’ bisa juga ‘hina’. Mulia ketika ia paham kewajiban barunya, dan hina ketika ia langgar batasannya, ia ciderai komitmen sucinya. Jadi, waktu itu aku berpikir, lebih penting untuk menilai, sejauh apa mentalitas yang saat ini aku punya. Waw.
(bersambung)