Hadiah Ulang Tahun

Sulit menyadari bahwa aku sudah tidak ‘menulis’ hampir satu tahun. Di blog ini. Waw. Dan sulit membayangkan bahwa hari ini aku tergerak log in dan mengisinya kembali.

Baiklah, aku akan mulai dari kabar terakhir. Beberapa waktu lalu, aku positif covid. Dimulai dengan gejala demam yang muncul tepat di hari ulang tahunku, 27 Februari yang lalu. Amazing!

Continue reading “Hadiah Ulang Tahun”

Back to December 2017 (Kisah Part 1)

Jadi, di akhir Desember 2017 aku melakukan perjalanan seorang diri dengan travel Tembilahan – Pekanbaru. Perjalanan yang baik baik saja awalnya sampai sang supir memulai pembicaraan. Out of nowhere, topiknya. Beliau bertanya, apakah aku sudah bekerja atau belum, sudah menikah atau belum, kegiatanku apa saja, yang jujur secara pribadi aku gak punya masalah ditanya kayak gitu, tapi gak seterbuka gimana juga untuk dikulik kulik. You know, right?

Kala itu aku mencoba menjawab sesingkat dan seringan mungkin untuk menyudahi pembicaraan. Benar benar seperlunya. Sampai beliau terus menerus membangun kesimpulan di depan wajahku. “Kalau saya lihat, kamu ini akan susah dapat kerja dan berat jodoh”, kupalingkan wajahku menatap sang supir yang tanpa beban memandang jalanan. “Kamu ini sudah dibuat buat orang, ada orang yang benci dan sakit hati karena kamu tolak”, lanjutnya.

Aku tergelak dalam hati. Mencoba stay cool. Entah seberapa jauh ia berbicara dan hanya kutanggapi dengan hmm, ohhh, hmm, ohhh. Tak berhenti masalah perjodohan, ia bahas tentang sekolah, pendidikan dan tau tau membandingkanku yang kala itu baruuu banget lulus S2 dan ceritanya lagi balik kampung (dan belum punya ‘kerjaan’), dengan anak perempuannya, lulus S1 langsung kerja dan tidak lagi pernah dikirimi uang (karena sudah berpenghasilan). I mean, what? Hello.

Endingnya tentu saja saat aku bersiap turun di alamat tujuanku, ia menyempatkan mengajarkanku ‘doa-doa’ dan langkah-langkah untuk membuka cahaya yang telah ditutup oleh ‘lelaki’ antah berantah yang katanya mengirimiku sesuatu tadi. Bahkan sambungnya, gak cuma seorang, tapi beberapa. Sekaligus diajarinya supaya pintu rezeki terbuka. Aku cuma membalas dengan senyuman tipis dan kuucapkan terima kasih (dalam hati kudoakan semoga selamanya aku gak bertemu lagi dengannya wkwk).

Well, jadi kisah tadi sebenarnya cuma pembuka untuk topik yang pengen banget dari dulu aku ceritakan. Tentang, ternyata hidup kita itu, ya begitu, ehehe. I mean, itulah hidup. Bahwa kita gak bisa mengontrol apa yang orang-orang akan pikirkan, katakan, atau lakukan ke kita. Di sisi yang lain, sepenuhnya kita punya pilihan untuk ‘terpengaruh’ atau membangun jejak kita sendiri.

Dan dalam konteks ini, secara pribadi, apa yang supir itu katakan gak membuat aku merasa ‘ketakutan’ actually. Aku pernah cerita sekali ke Mamak, malah Mamak yang kepikiran wkwk. Kepikiran dalam ukuran namanya Ibu ibu sih. Khawatir, nanti anaknya ketemu jodoh gak, kok ya gak ada tanda tanda :D. Abah, justru lebih tenang kayaknya, meskipun Abah berusaha nyariin jodoh gegara dengar Ustadz Somad bilang, bahwa seorang ayah bertanggung jawab mencarikan putrinya laki-laki yang sholih. Sikap Mamak dan Abah kala itu, benar benar meneguhkanku. I mean, aku ‘biasa’ aja yang saking biasa nya jadi suka dianggap Mamak ‘menggampangkan’ 😀

Dan sepanjang perjalanan di hari itu, sejujurnya aku mikir tentang betapa bersyukurnya aku ikutan ngaji yang membuatku paham tentang qadhanya Allah, ketetapan Allah. Tentang besarnya rizki dari Allah, rizki bisa sekolah, rizki ke IPB, rizki terjaga dari pergaulan bebas, rizki untuk berkegiatan aktif di organisasi tanpa terombang ambing galau, rizki tentang dukungan keluarga, rizki lingkungan yang masyaaAllah ringan nasehat menasehati, dan banyak lagi pastinya kalau dirunut satu per satu, alhamdulillah ‘ala kulli hal.

Justru kejadian di’baca-baca’ begitu membuatku banyak berpikir tentang seberapa mengerikan kehidupan manusia, especially muslim, ketika mereka gak ngerti gimana menggunakan sudut pandang agamanya dalam kehidupan. Mereka bisa langsung ketakutan untuk hal-hal yang padahal rahasianya ada di sisi Allah. Mereka bisa saja galau, dan faktanya aku menemukan (ada) teman-temanku yang terjebak kegalauan, kesedihan berkepanjangan, just because mereka diomongin kayak yang tadi aku terima. It is true. Bahkan embel embel nya lebih panjang dan perih didengar.

Ketidakpahaman, kadang bisa kita temui dari orang yang tidak kita kenal, dan bisa juga dari orang yang dekat dengan kita, kayak keluarga atau teman. Bisa siapa saja. So, kita gak bisa selamanya menghindari orang-orang yang demikian. That’s why, menurutku membangun pemahaman yang benar justru adalah koentji.

Ehm, ngomong-ngomong tentang topik ini, sebenarnya aku pernah dapat inspirasi dari sebuah buku. Bahwa bukan status yang jadi utama, melainkan mentalitas bagi status itu. Seseorang yang masih single, bisa ‘mulia’ dan bisa juga ‘hina’. Mulia kalau ia jaga dirinya, hina kalau ia rendahkan dirinya. Dan seseorang yang sudah menikah, pun bisa ‘mulia’ bisa juga ‘hina’. Mulia ketika ia paham kewajiban barunya, dan hina ketika ia langgar batasannya, ia ciderai komitmen sucinya. Jadi, waktu itu aku berpikir, lebih penting untuk menilai, sejauh apa mentalitas yang saat ini aku punya. Waw.

(bersambung)

Batasnya.

Jadi, beberapa tahun yang lalu, di sebuah forum mingguan ada seorang kakak peserta yang bertanya kepada ustadzah. Tentang hukum muslimah membawakan sholawat atau lagu keIslaman seperti nasyid. Sang ustadzah bertanya, “Liriknya bagaimana memangnya?” Aku tersenyum lebar (mungkin terkikik), karena sang kakak lalu mencontohkan lagu yang sedang trend kala itu dan beliau mulai bersenandung, “Hmmm mmm mmm, hmmm…” Pada akhirnya forum itu riuh karena, yah you know, kenapa bukan lirik utama saja yang disebutkan, kenapa harus selengkap itu bahkan dimulai dari “Hmmm mmm mmm, hmmm…” Gimana mau menilai liriknya 😀

Continue reading “Batasnya.”

Terkoreksi Selamanya

Mungkin punch line malam ini, yang rasa-rasanya seperti oase, ‘Masih punya kesempatan dikoreksi yang lain, itu harus disyukuri, karena nanti ada masanya harus ‘mengoreksi sendiri’. Well, sebenernya sepanjang apapun langkah ini, gak mungkin benar benar ‘lepas’ dari koreksian atau masukan orang lain, tapi feel nya tetap akan beda. Rasanya gak sama karena kelak waktu itu tiba, you have to be responsible (more and more), sebagai pelaku utama.

Continue reading “Terkoreksi Selamanya”

Menyapa Minggu

“Sudahlah lagi memikirkan negara ini, pikirkan keluarga kita, Dek”, sontak aku dan teman-teman tak bisa menahan tawa saat kalimat ini meluncur dari mulut salah seorang teman kami. Long story short, ada seorang teman yang suka berdiskusi dengan sang suami. Diskusi bukan sembarang diskusi, materinya rupanya berkaitan dengan negeri tercinta ini, gils gak tu? Hehe, nah saking seringnya, sang suami jadi ‘protes’, mungkin kayak, duh ini istri gue kok obrolannya negara melulu. Sampai akhirnya sang suami pun ngomong, “…pikirkan keluarga kita, Dek…”. Continue reading “Menyapa Minggu”

Nanti Kita Bercerita Bersama

Kalau tidak salah, kala itu aku duduk di bangku kelas 2 tsanawiyah. Sejarah Kebudayaan Islam atau SKI mata pelajarannya. Deretan nama nama khalifah, beserta tahun kepemimpinannya, harus dicoba untuk dihapal. Ya walaupun untuk ujian rasanya cukup ingat nama nama khalifah yang mahsyur saja. Salah satu materinya ada tentang Khulafaurrasyidin, Kekhalifahan Bani Umayyah, lalu dilanjutkan Bani Abbasyiah. Aku tak begitu ingat apakah Bani Utsmaniyyah juga disampaikan waktu itu. Yang jelas, aku ingat pernah bertanya tentang, mengapa saat ini tidak ada lagi kekhilafahan Islam seperti di masa lalu? Tak panjang, guruku hanya menjelaskan bahwa kekhilafahan itu sudah selesai dan berlalu, sekarang sistemnya sudah tidak lagi demikian. Sudah, begitu saja. Aku pun menerima menerima saja, toh tak paham apapun. Continue reading “Nanti Kita Bercerita Bersama”

Karena Corona

Pagi itu, tak lama setelah agenda selesai, aku bergegas meninggalkan kampus. Jalanan yang kulewati sepi, hanya terlihat satu dua kendaraan yang terparkir. Di sudut sudut taman masih nampak beberapa petugas yang bekerja. Mungkin mereka tak biasa membiarkan dedaunan dan rumput meninggi. Sepagi itu, sesepi itu. Tak lagi nampak satpam yang riweuh mengecek identitas orang keluar masuk dan tak ada lagi nyaring deruan motor. Sejenak hiruk pikuk mereda. Continue reading “Karena Corona”

Bertanya Selamanya

Kalau diikuti, ujung dari tuntutan para perempuan di Hari Perempuan Internasional lalu, ya…tentang pemenuhan hak hak perempuan, yang dianggap banyak terpinggirkan. Bahasanya mungkin kayak didiskriminasi dan secara umum masih dianggap ‘lebih rendah’ dibanding kaum Adam, belum setara. Fakta tentang kekerasan seksual, mau secara verbal bahkan lebih dari itu, sampai ke gimana seorang perempuan mau berpakaian, banyak banget tersaji. Intinya, zaman semaju ini, kok yang begituan masih diurusin? Continue reading “Bertanya Selamanya”

Menyenangkan yang Menenangkan

Minggu lalu mungkin salah satu hari yang kutunggu tunggu, setidaknya sejak dua bulan terakhir. Sejak diinfokan, aku sumringah mengingatnya. Ya, minggu untuk berangkat praktek lapangan bersama mahasiswa. Bukan prakteknya semata sebenarnya, karena toh selagi mahasiswa aku juga bepergian begini kan. Jadi? Jadi tujuannya asal kau tau, tujuannya yang membuatku berbinar: Sumatera Barat. 

Anggia Murni adalah novel berlatar negeri minang. Novel yang sudah tua, setelah kucari cari di internet, rupanya terbit pertama kali di tahun 1957, wah. Kesenanganku membaca sejak kecil, membawaku bertemu novel itu di sekolah. Kisah hidup Anggia dan ranah minang, membuatku jatuh hati, entah berapa kali ku lahap ulang. Lagi dan lagi. “Rambut hitam ikalnya bak mayang terurai, alisnya hitam rapi seperti semut yang beriring”, duh. Semasa membaca itu, aku tak tau di mana sebenarnya ‘Sumatera Barat” tempat hidup Anggia. Belasan tahun kemudian, aku dapat bertamu di negerinya. Negeri yang dulunya cuma kubaca lewat untaian kata. Negeri yang indahnya, dilukis lewat cerita. Maka, bisa kau bayangkan perasaanku, saat ku tahu lokasi praktek lapangan kali ini adalah Sumatera Barat? 🙂  Continue reading “Menyenangkan yang Menenangkan”